"Pamoseang" Peradaban Tua Mandar yang Hilang Dalam Sejarah
Langkah Tak Berujung dari Pamoseang
"Moa diang namarrakba-rakba Petahung, namambottu-bottu Bassi, nipembulehang tammala, nipessisi tamala, niosok bittik appa guttu naung litak anna sitepai tau sibatta."
80 tahun Negara Republik Indonesia berdiri tegak pada tanah dan air Pamoseang atas dasar Pancasila. Selama itu pula deru leluhur mendenting dari langit, mengawal langkah-langkah yang tak tumbang di Pamoseang: Tanah para penjejak abadi.
Darah dan jejak kaki telah berkawan lama di tanah Sasok Kaka Pamoseang. 80 tahun lamanya mengibarkan Sang Saka Merah Putih tetapi seorang bapak dan ibu hanya bisa mewariskan "nyali" untuk anak-anaknya. Kalau tak bernyali besar maka kehidupan akan berakhir.
Mencari Rotan rasanya lebih mulia dibanding memandang bendera yang berkibar di halaman rumah. Negara tidak sepenuhnya hadir, ingkar atas dara para pejuang Pamoseang. Andai mereka lebih tau sedikit saja tentang berita viral, mungkin bendera "One Piece" akan menghiasi setiap sudut rumah-rumah mereka — bahkan dikibarkan sepanjang jalan.
Sejarah mencatat, diantara angin dan waktu Pamoseang tak pernah diam. Sejak dahulu suara perlawanan menggema di lembah yang sunyi. Tanah merah nampaknya telah menjadi saksi bisu perjalanan zaman — perjuangan dan langkah yang tak berujung bagi rakyat.
Darah, Langkah dan Pamoseang
To Pamoseang adalah komunitas masyarakat adat yang telah lama mendiami wilayah pegunungan perbatasan Kabupaten Mamasa dan Majene. Asal-usul peradaban manusia di Sulawesi Barat tidak lepas dari nama Pamoseang itu sendiri. Dalam kehidupan masa lalu, tidak ada yang menampik keberadaan Pamoseang.
Dari tinjauan sejarah, budaya tutur (Pasang) dan historiografi, Pamoseang punya tempat dan diakui keberadaannya.
Manusia pertama di Pamoseang adalah Tokeubang, anak atau turunan langsung dari Pongkapadang. Sebagai Anak Ulua (anak pertama) dari Lisuang Ada' Talippuki. Bahkan kita bisa menyebut bahwa Pamoseang adalah salah satu induk peradaban manusi di Sulawesi Barat— lebih dalam penulis menyebut To Pamoseang —Suku Pamoseang.
Dari sisi historiografi, Pamoseang punya tempat tersendiri sebagai salah satu suku pada masa penjajahan Hindia-Belanda, Afdeling Mandar tentunya. Dan disinilah awal mula jejak-jejak perlawanan yang masih suci sampai abad ke-21.
Pemerintah Hindia-Belanda menyebut wilayah Pamoseang sebagai daerah yang dihuni oleh kelompok masyarakat Toraja.
Sehingga pada tahun 1907 dengan digabungkannya Ulu Mandak ke Distrik Sendana Pamoseang juga termasuk di dalamnya.
Dengan bergabungnya Ulu Mandak ke Distrik Sendana, maka pada tahun 1920 kelompok masyarakat Toraja (Pamoseang, Popenga,Ulu Mandak, Rantebulahan) yang bermukim di pegunungan Afdeling Mandar oleh pemerintah Hindia-Belanda dibentuk satu distrik yang bernama Distrik Ulu Mandak (W.J.Leyds, 1933).
Wilayah Adat Pamoseang dan masyarakatnya pada saat itu terbagi dua Distrik. Bagian Timur digabungkan ke Distrik Mambi dan Bagian Barat digabungkan ke Distrik Ulu Mandak.
Sementara itu, dalam buku Politik Indentitas Etnik (Kambo,2021:136) Konstruksi Afdeling Mandar ke Sulawesi Barat To Pamoseang disebut sebagai salah satu suku terasing yang mendiami pegunungan Malunda. Dan benar adanya, bahwa Pamoseang adalah salah satu wilayah yang berada di pegunungan Kecamatan Malunda, Kabupaten Majene saat ini.
Sangat jelas posisi dan eksistensi peradaban Pamoseang sejak masa penyebaran manusia di Ulu Salu, Hindia-Belanda hingga saat ini Negara Republik Indonesia.
Gema Terakhir Para Penjaga Pamoseang
Benih perlawanan masyarakat Pamoseang dimulai sejak Ekspedisi Militer Belanda di Mandar pada tahun 1905-1907. Hal itu diungkapkan oleh beberapa tokoh masyarakat Suku Pamoseang.
Dari cerita masyarakat dan didukung oleh beberapa peninggalan benteng pertahanan dapat ditelusuri beberapa nama sebagai tokoh perlawanan Suku Pamoseang.
Di Wilayah Batannato/Urekang (Pullao Urekang) ada dua nama yang dikenal sebagai tonggak pejuang kemerdekaan, Pua Cammai dan Daeng Masusa. Mereka bergerilya bersama para pejuang lainnya. Berapa puncak gunung digunakan sebagai benteng pertahanan ketika serdadu Belanda menyerang.
Cucu Pua Cammai, Juriadi (50), mengungkapkan bahwa para pejuang hanya memakai alat perang seadanya. Berbekal Tombak, Parang dan Badik.
"Mereka membawa batu ke puncak gunung yang dijadikan sebagai benteng sebagai alat menghalau serangan. Ketika pasukan Belanda ingin memasuki benteng mereka maka batu-batu besar akan digelindingkan ke arah mereka sehingga sulit memasuki benteng," cerita Juriadi.
Perlawanan Pua Cammai dan Daeng Masusa tidaklah mulus. Politik adu domba yang dilancarkan oleh Belanda membuat keduanya di pukul mundur. Keduanya ditangkap dan dibawah ke Makassar untuk dipenjara.
Sumber lain mengatakan, Pua Cammai dan Daeng Masusa berhasil melarikan dalam penjara. Mereka berdua berjalan kaki dari Makassar sampai Pamoseang selama satu bulan lamanya.
Sepulangnya dari Makassar mereka kemudian melanjutkan perlawanan. Dan puncaknya yang diperkirakan pada tahun 1907-1909 mereka membunuh seorang prajurit Hindia-Belanda.
Namun pada tempat kejadian tersebut Gagang Badik Pua Cammai terjatuh. Tentara Belanda kemudian mencari tau siapa pemilik gagang Badik tersebut. Hingga pada suatu hari Belanda memperoleh informasi bahwa gagang tersebut adalah Sossorang (Pusaka) milik Pua Cammai.
"Mereka ditangkap dan dibuang ke Belitung atau orang lokal menyebutnya Cilacak," ungkap Juriadi.
Menurut anak cucunya, Pua Cammai saat di tangkap berumur sekitar 40 tahun. Dia mendekam di penjara selama kurang lebih 30 tahun. Setelah bebas, dia pun kembali ke Batannato dan dua tahun sejak kepulangannya Pua Cammai menghembuskan nafas terakhirnya.
Makam Pua Cammai berada di Puncak Gunung, belakang kampung Batannato atau Urekang. Sebelum di
makamkan, Jasad Pua Cammai Diallung (proses penyelenggaraan jenazah oleh penganut kepercayaan Mappurondo) . Berselang 1 tahun Diallung jasadnya pun dimakamkan dan anehnya jazad Pua Cammai tidak rusak sama sekali, masyarakat Pamoseang menyebutnya Tomate Ora-ora.
Hal itulah yang mendasari mengapa sampai sekarang Pua Cammai masih abadi dalam kehidupan Masyarakat Pamoseang. Sampai saat ini makamnya sering dikunjungi, selain sebagai pejuang kemerdekaan dia juga dikenal Tomate Ora-ora.
Selain Pua Cammai dan Daeng Masusa, di Timur Pamoseang, Saluang, ada Daeng Patongan yang bergabung bersama sahabatnya Pua Dakka di Benteng Tattalla Talippuki—Mambi.
Demikianlah jejak perlawanan To Pamoseang atau Suku Pamoseang sebagai anak kandung Republik ini. Mereka adalah pejuang dari lembah kesunyian. Nama mereka tidak tercatat dalam Buku Sejarah, tetapi mereka adalah langkah perlawanan yang tak berujung— tak lekang oleh waktu. (NN)
TO PAMOSEANG
Komentar
Posting Komentar